Senja Putih
Di post ini saya sekedar mau share cerpen yang pernah saya
tulis, sebenarnya ini adalag fanfic yang pernah saya ikutin lomba di grup
fanfic di faceboook. Dan, super sekali ni cerita dapat posisi juara satu, saya
rasa jurinya mungkin katarak . Tapi saya cukup gembira walaupun event
nya Cuma event kecil, dan hadiahnya pun ngak begitu besar. Tapi pencapaiannya
yang buat saya bahagia, udah sekian cuapcuapnya dan silahkan dibaca cerpen ini
dan mohon beri penilaiannya.
***
Senja
Putih
Aku menatap wanita berambut pirang itu. kakinya yang
kecil dan tanpa alas kaki menapaki setiap inchi dari batu pantai yang
berwarna hitam pudar itu, sesekali tubuhnya yang kecil limbung dihembus angin.
Aku mengalihkan, pandanganku jauh ke depan, menghadap ke laut lepas. jauh di
langit arah utara, sebuah pelangi membentang luas, sebuah mahakarya dari sisa
hujan sepanjang siang tadi, yang membuat suasana sore ini terasa sedikit dingin
dan lembab. Sekali lagi angin laut berhembus kencang menjatuhkan beberapa helai
daun pinus beserta beberapa butir sisa air hujan yang menyertainya. Aku
menggeser posisi dudukku, mengambil sehelai daun lembab yang tergeletak disampingku dan
menyelipkannya diantara sela-sela jariku.
Aku kembali memandang gadis pirang itu, tampak dia terduduk
di atas salah satu batu menatap laut lepas, sesekali ia menyeka peluh di
dahinya, sebuah senyum simpul menghiasi wajahnya sejak tadi, sejak ia mulai
melompati dan menapaki batu-batu pudar
di sepanjang pesisir pantai. Rambut pirangnya tampak melambai dihembus angin.
Untuk kesekelian kalinya, ombak bergulung dan mengempas
batu-batu pantai itu, yang membasahi wajah gadis itu, tapi dia tetap diam, tak
bergeming. Kakinya yang telanjang menyentuh permukaan air laut dan memainkan
sisa-sisa riak kecil yang ombak tinggalkan.
Aku bangkit dari kursi itu dan untuk kesekelian kalinya
menatap langit yang telah mulai senja. Pandanganku menerawang jauh ke arah
utara, melihat pelangi yang telah pudar dan hampir lenyap, dan untuk kesekian
kalinya bertanya pada diriku sendiri, ada apa diujung pelangi itu.
Aku berbalik meninggalkan gadis pirang itu yang masih duduk
diatas batu pudar, menunggu matahari tenggelam dan hilang seutuhnya dan
berganti dengan pekat malam. Aku berjalan menyusuri pasir pantai yang putih,
dan berjanji pada diriku sendiri akan kembali esok untuk melihatnya menapaki batu bewarna pudar di sepanjang
pesisir pantai.
***
Aku menatap kearah keluar jendela, butir-butir air hujan
jatuh mengenangi jalan setapak yang berlapis marmer putih. Bunyi air hujan
beradu dengan suara hantaman palu godam yang terus memukul-mukul potongan besi
yang melepuh terbakar, mengeluarkan bau tak sedap yang bercampur dengan bau
barang tambang lainnya yang memuakkan. Aku mengenakan topiku dan mengambil
mantel hujan di samping pintu. Kakekku menatapku sejenak dan mengganguk kecil,
mengizinkanku untuk pulang, aku melangkah keluar. Mungkin aku akan mampir
kepantai sejenak seperti biasanya, dan berharap kalau ia ada disana. Menapaki
batu pudar.
***
Hujan telah hampir lenyap, menyisakan gerimis kecil yang
membasahi sepanjang pesisir pantai. Membuat pasir putih sedikit lembab, dan
membuat pohon pinus itu terlihat lebih hijau daripada biasanya. Aku melihat
gadis itu di atas batu pudar, terduduk diam tak bergeming seperti biasanya.
Sekujur tubuhnya basah diselimuti sisa
hujan. Rambutnya pirangnya terurai lesu bahkan angin tak bisa
membangkitkannya kembali, tapi wajahnya tetap sama, dihiasi senyum simpul.
Tangannya menggengam erat lututnya, matanya menerawang jauh menatap langit, aku
mengikuti pandangannya. Mataku menangkap, sehelai selendang berwarna yang
membentang menghiasi langit. Sangat jelas. Lagi-lagi hujan tadi siang
menyisakan mahakaryanya yang selalu terlihat menggagumkan. Aku menatap gadis
itu, dia masih diam. Larut dalam dunia kecilnya. Mungkin jika aku lebih berani
mendekat dan melihat ke matanya, aku bisa melihat pantulan dari pelangi yang
ditatapnya atau mungkin aku bisa mengintip dunia kecil dibalik pikirannya. Tapi
aku terlalu takut dan memilih bangkit dan berbalik meninggalkannya untuk
kesekian kalinya, membiarkannya menunggu malam sendirian. Tapi hari ini aku
telah mengetahui ada apa diujung pelangi.
***
Salju yang putih bersih turun lagi senja ini, menutupi
marmer putih di sepanjang jalan setapak. Aku melilitkan syal putihku dan
mengencangkan mantel musim dinginku. Apakah di senja putih ini dia masih di
sana, dengan setia menunggu malam, atau menapaki batu pudar dengan kaki
telanjang.
***
Pesisir pantai itu bergeming, laut bahkan senyap. Pohon
pinus dan bangku kayu dibawahnya juga
senyap, seakan ikut menikmati senja putih ini. Aku menyusuri pasir yang tetutupi salju,
merasakan hawa yang dingin di sela-sela kakiku. Aku duduk di kursi kayu dibawah
naungan pohon pinus itu. sedikit
tersenyum, menyadari kalau tidak semua di pesisir pantai ini bergeming, dia
masih disitu. Menapaki dan melompati batu pudar dengan kaki telanjang, masih
dengan senyum simpulnya. tapi tampaknya angin tak sangggup berdiam diri lebih
lama dan berhembus sangat kencang, membuat gadis pirang limbung dan terjatuh,
menghantam batu pudar yang dingin, terus jatuh menghantam permukaan laut yang
tenang. Lalu semuanya kembali hening hanya menyisakan sebuah noda darah merah
di salah satu batu pudar. Aku bangkit, dan bertanya apakah aku akan kehilangan
gadis pirang beserta jawaban sesuatu di ujung pelangi atau dunia kecil di balik
pikirannya, aku berlari menembus salju, merasakan butir air mata yang hangat
membasahi pipiku yang dingin, sedingin perasaan yang takut kehilangan senyum
simpul diwajah itu.
***
Aku memandang tubuh yang masih terbaring lemah diatas
ranjang. Mata gadis pirang itu tertutup rapat, dengkuran kecil terdengar halus,
wajahnya yang damai dihiasi senyum tipis yang memang selalu berada disana. Aku
berpikir apa yang ia impikan, apakah ia menyesal tidak dapat menunggu malam di
senja putih itu, atau ia sekarang sedang bermain di dalam dunia kecil dibalik
pikirannya. Dunia kecil yang selalu tersembunyi dibalik matanya. Aku mendekati
ranjangnya, mendekati wajahnya dan mencium lembut pipinya, air mata yang hangat
ini untuk kesekian kalinya mengalir. Sebuah perasaan lega karena tahu aku tidak
akan kehilangan gadis ini, sebuah jawaban dari sesuatu diujung pelangi. Aku
mengelus rambut pirangnya, berusaha untuk tidak mengenai luka di kepala dan
keningnya. Perlahan mata itu terbuka memandangku dan saat itu aku bersumpah
dapat melihat selendang berwarna di balik matanya.
“apakah kau akan menemaniku menunggu malam”ucap gadis pirang
itu dengan senyum nya.
“aku akan menemani mu menunggu malam hingga aku kembali dan
bergabung menjadii gugusan bintang”ucapku yakin
Selesai
Komentar
Posting Komentar